Lutim-dinamisnews-online.com
Temuan adanya oknum Kepala Desa di Kabupaten Luwu Timur Provinsi Sulawesi Selatan yang membawa seorang gadis dalam kegiatan Bimbingan Teknis (Bimtek) Desa di Malang, Jawa Timur beberapa waktu lalu, kini mulai terkuak.
Sumber terpercaya media ini menyebutkan, oknum Kepala Desa dimaksud berinisial ED, yang saat ini menjabat sebagai Kepala Desa Pekaloa, Kecamatan Towuti, Kabupaten Luwu Timur.
Isu keikutsertaan gadis belia yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) dalam rombongan Kepala Desa se-kabupaten Luwu Timur tersebut kini kian Viral dimedsos seiring munculnya pernyataan Hj. Firawati, Sos, Kepala Unit PPA Kabupaten Luwu Timur yang terkesan membela si Kades, lalu “menyerang” si Gadis ABG yang menjadi Korban untuk dibawah ke Psikolog.
Tak hanya itu, Firawati bahkan dengan berani menegaskan telah menutup kasus “penyelidikan” tersebut dengan alasan “tidak ada korban dan kerugian yang ditemukan”.
Menyikapi pernyataan Kepala Unit PPA Kabupaten Luwu Timur tersebut, berbagai sorotan tajam pun bermunculan.
Akbar, SH., Direktur Yayasan Bantuan Hukum Wija Luwu bahkan mempertanyakan posisi dan kinerja unit PPA Luwu Timur yang terkesan justru melindungi pelaku, sedangkan disaat yang sama justru menyerang Korban.
Menurut Akbar, seharusnya tugas dan fungsi utama PPA adalah menyelenggarakan penanganan, perlindungan, pemulihan bagi korban, keluarga korban, dan/atau saksi, “bukan sebaliknya,” jelas Akbar heran.
Seharusnya langkah awal yang dilakukan Unit PPA setelah mendengar isu tersebut adalah memberikan perlindungan hukum terhadap si Korban, dengan memposisikannya sebagai anak perempuan belia yang patut diduga kuat telah menjadi korban kejahatan kekerasan seksual, bahkan patut diduga kuat telah menjadi korban perdagangan manusia. “Bukan justru sebaliknya melindungi Pelaku lalu menyerang si anak dengan bahasa perundungan,” Tutur Akbar, geram.
Lebih jauh Akbar menjelaskan, jika pernyataan Firawati selaku kepala unit PPA Kabupaten Luwu Timur diberbagai media itu benar, justru oknum tersebut bisa dilaporkan ke polisi dengan persangkaan melakukan kekerasan psikologi terhadap anak yang seharusnya didudukan sebagai korban dalam kasus ini.
Jika disimak, pernyataan Firawati diberbagai media tersebut sangat jelas menyebut si anak mengalami gangguan kejiwaan sehingga membutuhkan penanganan psikolog.
Padahal, lanjut Akbar, jika menyimak informasi yang saat ini beredar di masyarakat, Oknum Kades tersebut yang justru sangat “Bernafsu” mengajak si anak untuk ikut dalam rombongan.
Hal itu diperkuat dengan pengakuan korban yang menyebutkan bahwa oknum Kepala Desa tersebut lah yang menghubungi pihak sekolah si anak agar diberikan ijin dengan alasan ada hajatan keluarga.
Selain itu, fakta lain yang saat ini terungkap, yakni adanya nama si Anak dalam daftar peserta yang berangkat.
“Inikan sangat janggal” ungkap Akbar dengan nada tanya.
Akbar menambahkan, tugas PPA berdasarkan UU TPKS Pasal 76 Ayat (3) yakni menyelenggarakan penanganan, perlindungan korban; memfasilitasi pemberian layanan kesehatan, memfasilitasi pemberian layanan penguatan psikolgis, dan memfasilitasi pemberian layanan psikososial, rehabsos, pemberdayaan sosial, dan reintegrasi sosial.
“Ini amanat undang-undang kawan. Jangan dibalik,” lanjut Akbar, geram.
Hal lain yang membuat Direktur YBH Wija Luwu tersebut geram adalah tidak adanya perhatian dari sejumlah pejabat terkait menyikapi persoalan tersebut.
Padahal, lanjut Akbar, informasi tersebut sudah menyebar luas ditengah masyarakat, bahkan berita tentang “Skandal” oknum Kades Pekaloa tersebut sudah viral di berbagai media sosial.
Akbar menjelaskan, jika mempelajari hadirnya nama si anak dalam daftar keberangkatan peserta Bimtek, termasuk permintaan ijin dari oknum pejabat kepada pihak sekolah si anak, hingga munculnya pernyataan dari Kepala Unit PPA Kabupaten Luwu Timur yang menuding korban mengalami “gangguan kejiwaan”, kuat dugaan adanya “kerjasama yang baik” dari berbagai pihak tertentu untuk melakukan Eksploitasi Anak Perempuan Dibawah Umur, lalu menutupinya dengan memanfaatkan jabatan yang dimiliki.
Jika dugaan ini benar, lanjut Akbar, maka para pelaku bukan hanya telah melakukan kekerasan “Biasa” terhadap anak, namun patut diduga kuat mereka telah terlibat dalam sindikat atau jaringan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Perlu di ingat, lanjut Akbar, pelaku kekerasan terhadap anak, apalagi jika itu mengarah kepada eksploitasi hingga kekerasan seksual, bisa jerat dengan berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari Pidana Umum, hingga undang-undang khusus, seperti UU No. 23/2002 sebagaimana telah dirubah melalui UU No. 35/2014 tentang Perlindungan Anak, UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, hingga UU No.12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
“Jadi singkatnya, jika skandal oknum kades ini benar, para pelaku bisa dijerat dengan berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk bagi mereka yang melakukan pembiaran terhadap terjadinya tindak pidana itu, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 76 c UU 35/2014 tentang perlindungan Anak dengan ancaman pidana penjara lebih dari 3 tahun.
Untuk itu, Akbar mendesak seluruh pihak terkait, terutama Bupati Luwu Timur, Unit PPA Luwu Timur, hingga Penyidik Kepolisian segera menindaklanjuti persoalan ini dengan melakukan penyelidikan secara profesional dan transparan demi menjaga nama baik Institusi Pemerintahan dan Penegak Hukum, khususnya di wilayah hukum Luwu Timur. (*)